Jumat, 23 Maret 2012

"Suara dari Barak Stefan"





Dasar Pemikiran 

“…Daulat rakyat akan mempertahankan asas kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan: dalam politik, dalam perekonomian dan dalam pergaulan sosial. Bagi kita rakyat itu yang utama, rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereiniteit), karena rakyat itu jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat kita….”. Bung Hatta…… (pengantar majalah Daulat Ra’yat edisi pertama September 1931 dalam Restian http://id.shvoong.com)

Pengentasan kemiskinan di Negara ini seakan menjadi merupakan persoalan yang tak kunjung usai, karena besarnya jumlah penduduk miskin dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Menurut data BPS ( Badan Pusat Statistik ) jumlah penduduk miskin pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang. Penduduk miskin menurut BPS adalah masyarakat yang pengeluran per bulannya sebesar atau kurang dari Rp 233.740 per kapita atau sekitar 0,85 dolar AS per kapita per hari.
BPS juga mencatat, selama tiga tahun terakhir, jumlah penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten. Pada 2009 jumlah penduduk hampir miskin berjumlah 20,66 juta jiwa atau sikitar 8,99 persen dari total penduduk Indonesia. Pada 2010, jumlahnya bertambah menjadi 22,9 juta jiwa atau 9,88 persen dari total penduduk Indonesia. Total, jumlah penduduk hampir miskin tahun ini menurut data BPS mencapai 27,12 juta jiwa atau sekitar 10,28 persen dari total populasi. Jika ditambahkankan dengan penduduk miskin, jumlahnya hampir mencapai 60 juta orang.
Ukuran masyarakat hampir miskin adalah 1,2 kali dari garis kemiskinan. Jika garis kemiskinan Maret 2011 adalah pengeluaran Rp 233.740 per kapita per bulan, maka yang masyarakat hampir miskin ini pengeluaran per kapita per bulannya di bawah Rp 280.488 atau masih dibawah Rp 10.000 per hari. (http://www.pikiran-rakyat.com/node/166871).
Angka – angka tersebut masih jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Sebab, standar dasar menentukan “ miskin “  dan  sistem pendataan penduduk yang masih amburadul. Lihat Negara tetangga, Malaysia dan Thailand pada tahun 2010 menerapkan standar untuk kategori orang miskin dengan pendapatan sebesar 2,5 dolar AS per kapita per hari. Standar Bank Dunia sendiri berada pada angka 2 dolar AS per kapita per hari. Sedangkan di Indonesia masih 0,75 dolar AS per kapita per hari. Bagaimana kalau standar tersebut digunakan di Indonesia? Tentu angka kemiskinan membesar dan bukan tidak mungkin mencapai setengah dari total populasi masyarakat Indonesia.
Abdul Ghofur, jurubicara GAPRI menyebut angka kemiskinan versi BPS ini direduksi sekedar pada garis kemiskinan dengan angka-angka anonim yang hanya bermanfaat secara politik dan bukan pada penanggulangan kemiskinan. "Garis itu membuktikan bahwa adanya kegagalan dalam menangkap penyebab kemiskinan yang multidimensi. Dan menghapus kemiskinan jelas bukan pada atributnya, tetapi pada penyebab kemiskinan itu sendiri dengan segala multidimensi yang melingkupinya, (www.waspada.co.id.menggugat-angka-kemiskinan-versi-bps)
Kemiskinan tentu disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktornya adalah kebijakkan pemerintah yang tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Kebijakkan yang tidak dilandasi oleh kemauan yang kuat untuk memperjuangkan kehidupan masyarakat menyebabkan tidak tuntasnya pengentasan kemiskinan dan berbagai persoalan lainnya di Negara tercinta ini. Padahal ketika kita menelusuri sejarah perjalanan berdirinya bangsa ini dapat ditarik satu kesimpulan yang tegas, bahwa tujuan “kemerdekaan” untuk mencapai kehidupan masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Pertanyaan besar bagi kita semua. Apakah “ Menaikkan Harga Bahan Bakar Minyak “ merupakan suatu kebijakkan yang mendahulukan kepentingan rakyat ? Memang kondisi objektif masyarakat dunia saat sekarang ini mengalami fase ketidak-stabilan yang mengakibatkan harga minyak melonjak tinggi di pasar dunia. Kondisi ini membuat Negara – Negara tertentu mengalami defisit dalam anggaran belanja tahunan mereka, karena menggunakan perhitungan dengan standar harga yang lama. Lalu apakah menaikkan harga BBM menjadi satu – satunya solusi untuk mengatasi defisit anggaran tersebut?
Catatan khusus untuk pemerintahan Indonesia. Setelah kemerdekaan, menaikkan harga BBM seperti sudah menjadi tradisi untuk mengatasi defisit anggaran belanja Negara. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, BBM dinaikkan sebanyak 12 kali. Pada masa Presiden Soeharto, BBM naik sebanyak 18 kali. Presiden Habibie 1 kali menaikkan harga BBM. Sementara itu pada masa Gus Dur 1 kali naik dan Presiden Megawati, BBM naik sebanyak 2 kali, ditambah 7 kali penyesuaian harga BBM.
Sedangkan pada masa SBY, termasuk pada April nanti, BBM naik sebanyak 3 kali. Namun yang perlu dicatat, dari sekian periode pemerintahan, pada pemerintah SBY terjadi kebijakan penurunan harga BBM.
Terhitung, sudah tiga kali pemerintahan SBY menurunkan harga BBM. Benang merah yang bisa ditarik dari apa yang terjadi pada pemerintah SBY terkait BBM adalah ada sebuah rasionalisasi harga. Artinya, kenaikan harga BBM yang dilakukan pemerintah tidak bersifat mutlak. Pada satu kondisi ekonomi sedang bagus, harga minyak dunia juga bagus, kemungkinan terjadi penurunan harga BBM bersubsidi sangat terbuka lebar. (dalam http://regional.kompasiana.com/2012/03/08/sejarah-kenaikan-bbm/ )
Bersandar pada potensi dan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia, perihal “ Rasionalisasi Harga “ terkesan jauh dari konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945. Dalam hal ini dengan tegas menyebutkan bahwa Negara didirikan dengan tujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Demi mencapai tujuan tersebut, Pasal 33 (2) UUD 1945 mengamanatkan agar seluruh kekayaan Indonesia baik di darat, laut dan angkasa termasuk cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai sepenuhnya oleh Negara, untuk kemudian dikelola dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pertanyaannya, Bagaimana dengan pengelolaan sumber daya alam kita ?, terkait dengan produksi BBM. Apakah sumber daya alam kita tidak mencukupi ? Atau belum dikelola dengan baik ? Sehingga kita tergantung dengan “PASAR“ yang wajahnya seketika bisa berubah menjadi momok “kolonialisme” abad ini.
Sepertinya kenaikkan BBM kali ini tinggal menunggu waktu saja. Namun sebelum usulan pemerintah ini benar – benar disahkan oleh DPR, rentetan persoalan mulai bermunculan. Pertama, Harga sejumlah kebutuhan rumah tangga sudah mulai melonjak. Harga cabai misalnya, Selasa (13/3/2012), kini sudah menembus harga Rp26 ribu per kilogram. Akibat kenaikan ini, selain konsumen, pedagang juga mengeluh karena pendapatan mereka turun hingga 50 persen. Kedua, Penimbunan BBM dan penyelewengan distribusi BBM. Ketiga, Semakin tingginya biaya transportasi. Keempat, Dunia usaha mulai resah, pekerja mulai menuntut kenaikkan upah menyesuaikan harga - harga yang telah merangkak naik. Sedangkan daya saing semakin melemah di tengah dunia usaha yang semakin kompetitif.
Sepertinya berbagai permasalahan di atas, lebih dahulu “Mencuri Start” dan memperlihatkan ketidak-siapan infrastuktur pemerintahan dalam mengantisipasi persoalan yang muncul sebelum keputusan tersebut disahkan.
Lucunya muncul “Trend Baru” dalam meredam gejolak di tengah kehidupan masyarakat akibat kenaikkan BBM. Yaitu, pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), atau nama barunya Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Siapa yang tidak suka? Hanya bermodalkan keberanian untuk mengaku  “miskin” dapat uang setiap bulan dan tidak perlu bekerja keras. Beberapa tahun lalu upaya ini mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, meskipun cenderung dianggap sebagai langkah politis. 
Padahal langkah “Naif“ hanya selebrasi yang menjadi hiburan sesaat, jauh dari upaya untuk menyelesaikan permasalahan yang sesungguhnya. Di sisi lainnya dalam kacamata pembangunan “Mental Masyarakat”, pemberian langsung tunai seperti menyemai bibit “Mental Pengemis” dalam kehidupan masyarakat. Tidak mendidik masyarakat untuk ber-swasembada atau mandiri. Husserl ( dalam Supaat I. Latief) menyatakan bahwa pembentukkan mental bersifat intensional. Semakin sering seseorang atau sekelompok masyarakat melakukan suatu tindakan yang di katakan rasional (meskipun terpaksa) akan membentuk kesadaran mentalnya. Dalam persoalan ini, masyarakat yang terpaksa antri untuk menerima bantuan langsung tunai dalam rentang waktu yang panjang dan memiliki intensitas yang cukup akan membentuk “Mental Pengemis” tersebut. Jauh dari ke-mandirian.
Dalam suaramerdeka.com, Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri menilai, Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) adalah pilihan terbaik pemerintah guna mengatasi dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). "Pemerintah tidak ada pilihan lain untuk menghadapi dampak kenaikan BBM karena untuk memberikan pemberdayaan tidak bisa dirasakan langsung, sedangkan dampak BBM langsung dirasakan," kata Menteri Sosial, Sabtu (3/3), saat menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Tapos, Depok sekaligus memberikan bantuan untuk fakir miskin dan dhuafa di daerah tersebut. Meski demikian, menteri mengakui bahwa BLSM pada dasarnya tidak mendidik masyarakat untuk mandiri.
Pertanyaan besarnya. Bagaimanakah realitas kehidupan yang akan dihadapi oleh masyarakat setelah April mendatang? Pasrah menatap realitas kehidupan masyarakat yang semakin kelam? Ikhlas menerima keadaan dan bertekuk lutut? Atau bangga menjadi pe-nyaksi gejolak sosial yang merujuk pada Anarkisme? Sebab tidak dapat dipungkiri, kenaikkan BBM akan berdampak secara sistematis dan beresiko menciptakan “Kegoncangan Sosial“ dalam kehidupan masyarakat. Kita perlu melihat permasalahan ini secara Komprehensif, agar dapat melakukan tindakan “damai“ yang berfungsi sebagai “Counter” dan “Benteng-spirit”. Berupa perilaku - perilaku bijak dari semua kalangan agar keputusan tersebut tidak meruntuhkan “spirit” dalam kehidupan masyarakat.
Untuk itulah BARAK seni STEFAN merasa terpanggil, menjadi ruang “SUARA” dari para “Penyaksi dan Pelaku kenyataan”. Meskipun kecil kemungkinan suara – suara tersebut memiliki kekuatan merubah suatu Kebijakkan. Tapi kita harus berbuat…….! Berbuat untuk menemukan Solusi-Aktif pada setiap permasalahan. Semoga hal tersebut menjadi bagian dari upaya lanjutan, menjaga cita – cita suci yang mulai kendur dihantam berbagai kepentingan. Padahal kita semua mengerti, bahwa lontaran mimpi para pendahulu kita adalah serangkaian keberanian, menyusuri titian darah dan air mata untuk menjangkau “ Makna Kemerdekaan” yang sesungguhnya. Supaya realitas kehidupan tidak lagi menjadi beban generasi berikutnya, seperti mimpi buruk dalam otak kita. Dan sesungguhnya, kesejahteraan rakyat merupakan tolak-ukur dari tinggi-rendahnya derajat kita semua….
.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Waktu Pelaksanaan Pada Hari Selasa, 27 Maret 2012, jam 13.00 - Selesai
Bertempat di BARAK seni STEFAN, Dusun Sembungan, Rt 03 No 53, Bangun jiwo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta

Agenda Kegiatan

1.       “Hitam-Putih Negeriku”  Melukis dan Pameran Bersama
2.       Donor Darah “ Darah Untuk Negeriku ”
3.       Doa Keselamatan Bangsa
Kyai Ahmed Muhaimin
4.       Orasi Budaya
Prof. Nasir Tamara dan Romo Sapto
5.       Musikalisasi Puisi, Performance Art dan Music Stage
BARAK Band, Sick Culture, Rescue dan Buyung Mentari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar