Dasar Pemikiran
“…Daulat rakyat akan mempertahankan asas
kerakyatan yang sebenarnya dalam segala susunan: dalam politik, dalam
perekonomian dan dalam pergaulan sosial. Bagi kita rakyat itu yang utama,
rakyat umum yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereiniteit), karena
rakyat itu jantung hati bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi
rendahnya derajat kita….”. Bung Hatta…… (pengantar majalah Daulat Ra’yat edisi pertama September 1931 dalam
Restian http://id.shvoong.com)
Pengentasan
kemiskinan di Negara ini seakan menjadi merupakan persoalan yang tak kunjung
usai, karena besarnya jumlah penduduk miskin dan cenderung meningkat setiap
tahunnya. Menurut data BPS ( Badan Pusat Statistik ) jumlah penduduk miskin pada Maret 2011 mencapai 30,02 juta orang. Penduduk miskin menurut BPS adalah masyarakat yang pengeluran per
bulannya sebesar atau kurang dari Rp 233.740 per kapita atau sekitar 0,85 dolar
AS per kapita per hari.
BPS juga mencatat, selama tiga tahun
terakhir, jumlah penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten. Pada
2009 jumlah penduduk hampir miskin berjumlah 20,66 juta jiwa atau sikitar 8,99
persen dari total penduduk Indonesia. Pada 2010, jumlahnya bertambah menjadi
22,9 juta jiwa atau 9,88 persen dari total penduduk Indonesia. Total, jumlah
penduduk hampir miskin tahun ini menurut data BPS mencapai 27,12 juta jiwa atau
sekitar 10,28 persen dari total populasi. Jika ditambahkankan dengan penduduk
miskin, jumlahnya hampir mencapai 60 juta orang.
Ukuran masyarakat hampir miskin
adalah 1,2 kali dari garis kemiskinan. Jika garis kemiskinan Maret 2011 adalah
pengeluaran Rp 233.740 per kapita per bulan, maka yang masyarakat hampir miskin
ini pengeluaran per kapita per bulannya di bawah Rp 280.488 atau masih dibawah
Rp 10.000 per hari. (http://www.pikiran-rakyat.com/node/166871).
Angka
– angka tersebut masih jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Sebab, standar
dasar menentukan “ miskin “ dan sistem pendataan penduduk yang masih
amburadul. Lihat Negara tetangga, Malaysia dan
Thailand pada
tahun 2010 menerapkan standar untuk kategori orang miskin dengan
pendapatan sebesar 2,5 dolar AS per kapita per hari. Standar Bank Dunia sendiri
berada pada angka 2 dolar AS per kapita per hari. Sedangkan di Indonesia masih
0,75 dolar AS per kapita per hari. Bagaimana kalau standar tersebut digunakan
di Indonesia? Tentu angka kemiskinan membesar dan bukan tidak mungkin mencapai
setengah dari total populasi masyarakat Indonesia.
Abdul Ghofur, jurubicara GAPRI menyebut angka kemiskinan versi BPS
ini direduksi sekedar pada garis kemiskinan dengan angka-angka anonim yang
hanya bermanfaat secara politik dan bukan pada penanggulangan kemiskinan. "Garis
itu membuktikan bahwa adanya kegagalan dalam menangkap penyebab kemiskinan yang
multidimensi. Dan menghapus kemiskinan jelas bukan pada atributnya, tetapi pada
penyebab kemiskinan itu sendiri dengan segala multidimensi yang melingkupinya,
(www.waspada.co.id.menggugat-angka-kemiskinan-versi-bps)
Kemiskinan
tentu disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktornya adalah kebijakkan
pemerintah yang tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat. Kebijakkan yang
tidak dilandasi oleh kemauan yang kuat untuk memperjuangkan kehidupan
masyarakat menyebabkan tidak tuntasnya pengentasan kemiskinan dan berbagai
persoalan lainnya di Negara tercinta ini. Padahal ketika kita menelusuri
sejarah perjalanan berdirinya bangsa ini dapat ditarik satu kesimpulan yang
tegas, bahwa tujuan “kemerdekaan” untuk mencapai kehidupan masyarakat Indonesia
yang sejahtera.
Pertanyaan
besar bagi kita semua. Apakah “ Menaikkan Harga Bahan Bakar Minyak “ merupakan
suatu kebijakkan yang mendahulukan kepentingan rakyat ? Memang kondisi objektif
masyarakat dunia saat sekarang ini mengalami fase ketidak-stabilan yang
mengakibatkan harga minyak melonjak tinggi di pasar dunia. Kondisi ini membuat Negara
– Negara tertentu mengalami defisit dalam anggaran belanja tahunan mereka,
karena menggunakan perhitungan dengan standar harga yang lama. Lalu apakah
menaikkan harga BBM menjadi satu – satunya solusi untuk mengatasi defisit
anggaran tersebut?
Catatan
khusus untuk pemerintahan Indonesia. Setelah kemerdekaan, menaikkan harga BBM
seperti sudah menjadi tradisi untuk mengatasi defisit anggaran belanja Negara. Pada
masa pemerintahan Presiden Soekarno, BBM dinaikkan sebanyak 12 kali. Pada masa
Presiden Soeharto, BBM naik sebanyak 18 kali. Presiden Habibie 1 kali menaikkan
harga BBM. Sementara itu pada masa Gus Dur 1 kali naik dan Presiden Megawati,
BBM naik sebanyak 2 kali, ditambah 7 kali penyesuaian harga BBM.
Sedangkan pada masa SBY, termasuk pada April nanti, BBM
naik sebanyak 3 kali. Namun yang perlu dicatat, dari sekian periode
pemerintahan, pada pemerintah SBY terjadi kebijakan penurunan harga BBM.
Terhitung, sudah tiga kali pemerintahan SBY menurunkan
harga BBM. Benang merah yang bisa ditarik dari apa yang terjadi pada pemerintah
SBY terkait BBM adalah ada sebuah rasionalisasi harga. Artinya, kenaikan harga
BBM yang dilakukan pemerintah tidak bersifat mutlak. Pada satu kondisi ekonomi
sedang bagus, harga minyak dunia juga bagus, kemungkinan terjadi penurunan
harga BBM bersubsidi sangat terbuka lebar. (dalam http://regional.kompasiana.com/2012/03/08/sejarah-kenaikan-bbm/ )
Bersandar
pada potensi dan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia, perihal “
Rasionalisasi Harga “ terkesan jauh dari konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945. Dalam hal ini dengan tegas menyebutkan bahwa Negara didirikan
dengan tujuan untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Demi mencapai tujuan tersebut, Pasal 33 (2)
UUD 1945 mengamanatkan agar seluruh kekayaan Indonesia baik di darat, laut dan
angkasa termasuk cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang
banyak dikuasai sepenuhnya oleh Negara, untuk kemudian dikelola dan digunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pertanyaannya, Bagaimana
dengan pengelolaan sumber daya alam kita ?, terkait dengan produksi BBM. Apakah
sumber daya alam kita tidak mencukupi ? Atau belum dikelola dengan baik ?
Sehingga kita tergantung dengan “PASAR“ yang wajahnya seketika bisa berubah
menjadi momok “kolonialisme” abad ini.
Sepertinya
kenaikkan BBM kali ini tinggal menunggu waktu saja. Namun sebelum usulan pemerintah
ini benar – benar disahkan oleh DPR, rentetan persoalan mulai bermunculan. Pertama, Harga sejumlah kebutuhan
rumah tangga sudah mulai melonjak. Harga cabai misalnya, Selasa (13/3/2012),
kini sudah menembus harga Rp26 ribu per kilogram. Akibat kenaikan ini, selain
konsumen, pedagang juga mengeluh karena pendapatan mereka turun hingga 50
persen. Kedua, Penimbunan BBM dan penyelewengan
distribusi BBM. Ketiga, Semakin
tingginya biaya transportasi. Keempat,
Dunia usaha mulai resah, pekerja mulai menuntut kenaikkan upah menyesuaikan
harga - harga yang telah merangkak naik. Sedangkan daya saing semakin melemah
di tengah dunia usaha yang semakin kompetitif.
Sepertinya
berbagai permasalahan di atas, lebih dahulu “Mencuri Start” dan memperlihatkan
ketidak-siapan infrastuktur pemerintahan dalam mengantisipasi persoalan yang
muncul sebelum keputusan tersebut disahkan.
Lucunya
muncul “Trend Baru” dalam meredam gejolak di tengah kehidupan masyarakat akibat
kenaikkan BBM. Yaitu, pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), atau nama barunya
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Siapa yang tidak suka? Hanya bermodalkan keberanian
untuk mengaku “miskin” dapat uang setiap
bulan dan tidak perlu bekerja keras. Beberapa tahun lalu upaya ini mampu
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, meskipun cenderung
dianggap sebagai langkah politis.
Padahal
langkah “Naif“ hanya selebrasi yang menjadi hiburan sesaat, jauh dari upaya
untuk menyelesaikan permasalahan yang sesungguhnya. Di sisi lainnya dalam
kacamata pembangunan “Mental Masyarakat”, pemberian langsung tunai seperti
menyemai bibit “Mental Pengemis” dalam kehidupan masyarakat. Tidak mendidik
masyarakat untuk ber-swasembada atau mandiri. Husserl ( dalam Supaat I. Latief)
menyatakan bahwa pembentukkan mental bersifat intensional. Semakin sering
seseorang atau sekelompok masyarakat melakukan suatu tindakan yang di katakan
rasional (meskipun terpaksa) akan membentuk kesadaran mentalnya. Dalam
persoalan ini, masyarakat yang terpaksa antri untuk menerima bantuan langsung
tunai dalam rentang waktu yang panjang dan memiliki intensitas yang cukup akan
membentuk “Mental Pengemis” tersebut. Jauh dari ke-mandirian.
Dalam suaramerdeka.com, Menteri Sosial Salim Segaf Al
Jufri menilai, Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) adalah pilihan
terbaik pemerintah guna mengatasi dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM). "Pemerintah tidak ada pilihan
lain untuk menghadapi dampak kenaikan BBM karena untuk memberikan pemberdayaan
tidak bisa dirasakan langsung, sedangkan dampak BBM langsung dirasakan,"
kata Menteri Sosial, Sabtu (3/3), saat menghadiri peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW di Tapos, Depok sekaligus memberikan bantuan untuk fakir miskin
dan dhuafa di daerah tersebut. Meski demikian, menteri mengakui bahwa BLSM pada
dasarnya tidak mendidik masyarakat untuk mandiri.
Pertanyaan besarnya. Bagaimanakah realitas kehidupan yang
akan dihadapi oleh masyarakat setelah April mendatang? Pasrah menatap realitas
kehidupan masyarakat yang semakin kelam? Ikhlas menerima keadaan dan bertekuk
lutut? Atau bangga menjadi pe-nyaksi gejolak sosial yang merujuk pada
Anarkisme? Sebab tidak dapat dipungkiri, kenaikkan BBM akan berdampak secara sistematis dan
beresiko menciptakan “Kegoncangan Sosial“ dalam kehidupan masyarakat. Kita perlu
melihat permasalahan ini secara Komprehensif, agar dapat melakukan
tindakan “damai“ yang berfungsi sebagai “Counter” dan “Benteng-spirit”. Berupa
perilaku - perilaku bijak dari semua kalangan agar keputusan tersebut tidak
meruntuhkan “spirit” dalam kehidupan masyarakat.
Untuk itulah BARAK seni STEFAN merasa terpanggil, menjadi
ruang “SUARA” dari para “Penyaksi dan Pelaku kenyataan”. Meskipun kecil
kemungkinan suara – suara tersebut memiliki kekuatan merubah suatu Kebijakkan.
Tapi kita harus berbuat…….! Berbuat untuk menemukan Solusi-Aktif pada setiap permasalahan. Semoga hal tersebut menjadi
bagian dari upaya lanjutan, menjaga cita – cita suci yang mulai kendur dihantam
berbagai kepentingan. Padahal kita semua mengerti, bahwa lontaran mimpi para
pendahulu kita adalah serangkaian keberanian, menyusuri titian darah dan air
mata untuk menjangkau “ Makna Kemerdekaan” yang sesungguhnya. Supaya realitas
kehidupan tidak lagi menjadi beban generasi berikutnya, seperti mimpi buruk
dalam otak kita. Dan sesungguhnya, kesejahteraan rakyat
merupakan tolak-ukur dari tinggi-rendahnya derajat kita semua….
.
Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Waktu
Pelaksanaan Pada Hari Selasa, 27 Maret 2012, jam 13.00 - Selesai
Bertempat
di BARAK seni STEFAN, Dusun Sembungan, Rt 03 No 53, Bangun jiwo, Kasihan,
Bantul, Yogyakarta
Agenda Kegiatan
1.
“Hitam-Putih Negeriku” Melukis
dan Pameran Bersama
2.
Donor Darah “ Darah Untuk Negeriku ”
3.
Doa Keselamatan Bangsa
Kyai Ahmed Muhaimin
4.
Orasi Budaya
Prof. Nasir Tamara dan Romo
Sapto
5.
Musikalisasi Puisi, Performance Art dan Music Stage
BARAK Band, Sick Culture,
Rescue dan Buyung Mentari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar