Jumat, 03 Februari 2012

KARYA STEFAN BUANA DAN TISNA SANJAYA, KARYA TERBURUK BERNILAI " RENDAH " VERSI AGUS DARMAWAN T, TAHUN 2011.

 

Realitas Masyarakat Indonesia  yang Terkoyak ke-Nestapaan
            Sebagai makhluk sosial manusia membentuk kelompok berdasarkan ikatan genetik, Demografi–Geografis, Kesamaan Strategi pemenuhan kebutuhan dan perlindungan diri, dan berbagai kesamaan lainnya. Hal – hal tersebut mendasari perilaku manusia, lalu membentuk adat istiadat dan kebudayaan.
            Pada peradaban modern ini, dinamika kehidupan manusia telah berkembang dalam kelompok yang lebih besar, atau disebut dengan Negara. Negara Indonesia terlahir dari semangat Nasionalisme dan Patriotisme dengan sejarahnya yang heroik. Negara ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, dengan karakteristik masyarakat maritim dan pertanian.
            Pada tanggal 17 Agustus 1945 Tinta emas sejarah mencatat bahwa kumandang kemerdekaan menghiasi langit Indonesia. Kemerdekaan yang menyusuri lautan darah dan airmata para pendahulunyaa. Setelah itu sistem kehidupan masyarakat dimulai dengan pola pemerintahan. Setiap Era pemerintahan memberikan dinamika yang beragam untuk mencapai cita – cita besarnya meraih kesejahteraan. Organisasi dan pemerintahan bentuk modern yang berpijak pada Hukum, politik, ekonomi dan Kebudayaan
            Hukum menjadi pijakkan dasar dari tata cara kehidupan Warga-Negara. Tujuannya agar segala hak dan kewajiban dapat berjalan dengan azas keadilan. Politik menjadi arena perwakilan untuk menyatukan legitimasi yang dimiliki oleh warga negara. Sistem ekonomi bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat dari perspektif Ekonomi. Sedangkan konstruksi budaya nasional tersusun oleh keaneka-ragaman budaya lokal masyarakat daerah yang arif.
            Setelah kemerdekaan dan melewati beberapa fase pemerintahan hingga Era Reformasi ini keadilan dan kesejahteraan masih jauh dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Tampak dari berbagai permasalahan yang terjadi di dalam realitas kehidupan masyarakat.
            Hukum tidak lagi berpihak pada keadilan masyarakat, karena wajah hukum telah berubah dan menjadi supermarket dengan praktek jual beli berbalut kuasa dan ke-kayaan. Faktanya bahwa penjahat kelas kakap yang melakukan berbagai tindak kriminal seperti Korupsi dan lainnya tidak tersentuh oleh hukum. Sedangkan rakyat kecil yang mencuri pisang, kakao dan sendal akan langsung ditindak.
            Konstelasi Politik dan sistem Ekonomi juga tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Carut marutnya panggung per-politikan, sistem ekonomi-liberal dan. Membuat rakyat tersungkur kedalam jurang kesengsaraan dan terbelenggu oleh lingkar usus mereka. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan pokok masih menjadi persoalan besar. Kesempatan masyarakat untuk ber-Swsembada menguap seiring Korupsi yang telah mengakar disetiap sendi pemerintahan. Dibidang Ekonomi, sebagian besar masyarakat dijadikan “budak – budak pasar” yang harus memeras keringat dan tenaga demi upah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok. Sedangkan harga barang – barang dan biaya pendidikan semakin mahal.
            Era Globalisasi Situasi dengan perdagangan bebasnya menjadi situasi yang pelik bagi masyarakat, karena disatu sisi mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan pokok yang terus meningkat. Sedangkan disisi lainnya kebijakkan – kebijakkan yang di buat pemerintah tidak berpihak kepada mereka. Masyarakat hidup tanpa adanya jaminan kesejahteraan, jaminan untuk mendapatkan keadilan dan keamanan. Bahkan jaminan kesehatan dan hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak pun jauh dari harapan dan cita – cita besar kemerdekaan. Lucunya, dalam situasi dan kondisi seperti ini di hadapan Publik para pejabat, penegak hukum dan politisi picik berlomba - lomba mengumandangkan syair moral demi kesejahteraan masyarakat. Padahal sudah menjadi rahasia umum, bahwasanya disetiap kesempatan mereka berkompetisi menggadaikan “tanah kaya ini” untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
            Dari uraian di atas. Terlihat ada beberapa persoalan mendasar yang menyebabkan “ terkoyaknya realitas kehidupan masyarakat Indonesia ”. bukan tidak mungkin lambat – laun situasi dan kondisi ini akan mengikis Identitas masyarakat Indonesia yang terkenal sebagai masyarakat yang penuh toleransi, plural, sikap ramah tamah dan semangat gotong royong.


Aku Muak.................!
            Ungkapan inilah yang membekap rasaku ( Stefan ) ketika melihat kenyataan yang tersaji dalam kehidupan kita berbangsa. Berbagai persoalan yang membelenggu kehidupan masyarakat bagai penyakit komplikasi. Sedangkan di sisi lainnya perilaku para penguasa dan orang - orang yang berbudaya tidak peduli seperti menginjak – nginjak kedaulatan negara yang telah diperjuangkan dengan semangat patriotisme.
            Mereka menggunakan topeng – topeng Moral dan Keadilan, padahal sebenarnya membalikkan punggungnya penanda ketidak pedulian dan memberikan kotorannya untuk kehidupan masyarakat. Seperti orang “ Berak ”...! Selanjutnya berdampak pada perilaku orang – orang yang terpengaruh oleh tontonan realitas yang memuakkan ini.
            Karya ini dipesentasikan dalam pameran DOCUMENTING NOW: Person to Person.

Pameran Documenting Now dan Menuju Seleksi Kolektor
            Pameran seni rupa “DOCUMENTING NOW: Person to Person adalah pameran yang “mencatat fenomena hari ini”. Tidak saja berarti bahwa perupa mengajukan tema-tema tentang “hari ini” dalam pemikiran dan karyanya, namun juga mengundang Anda untuk membahas apa yang tengah “trend” bagi hidup Anda sendiri.
            Dengan mode pameran semacam ini diharapkan khalayak, sebagai tamu utama ruang pamer memahami arti, makna, dan trend seni rupa yang paling fresh. Tak salah bila tema-tema yang didengungkan oleh para perupa ini merupakan masalah-masalah yang sedang in: misalnya problem sosial-masyarakat, politik-ideologi, kematian, perang, cinta, maupun masalah identitas personal.
            Seniman yang diundang dalam pameran ini merupakan perupa-perupa yang secara konsisten menjalani profesi kesenimanan secara utuh dan berhasil mencapai eksitensi yang menjulang, beberapa diantaranya hingga pada level internasional. Keseharian mereka adalah keseharian estetik, serta penuh dengan pengalaman artistik. Peristiwa apapun yang dilaluinya sehari-hari mereka catat, baik pada peristiwa ketika mereka berada di luar maupun di dalam rumah.
            “Jam kantor” mereka tidak terbatas, “kerja” mereka tidak hanya berdekatan dengan material berkarya. Banyak gesekan pikiran yang dilaluinya, tidak terbatas pada hal-hal yang nantinya mengarah pada tujuan akhir sebuah karya seni, namun juga pada kesadaran yang mengarah pada kreativitas berpikir dan mengambil pelajaran dari peristiwa sehari-hari. ( Rilis Curatorial, Mike Susanto)
            Pada kesempatan lainnya Agus Dermawan T dalam “ Menuju Seleksi Kurator ” tentang perpektif lain terhadap perkembangan seni rupa. Berikut kutipannya.        
            Pada 2011, euforia seni media baru memang menjadi-jadi. Karya-karya itu dimunculkan dalam aneka pameran program galeri, dan pameran akbar seperti bienale. Bahkan inti materi Bienal Yogyakarta dan Bienal Jakarta adalah seni media baru. Sementara itu, seni rupa konvensional, seperti seni lukis atau patung, hanya dipakai sebagai pendamping, yang disebut parallel biennale. Hanya Bienal Jawa Timur yang masih menyisakan toleransinya terhadap seni rupa "konvensional", seperti seni lukis dan patung.
            Kebijakan trendi dan overprogresif seperti ini akhirnya memberikan tanda-tanda kurang obyektif dalam memandang panorama perkembangan seni rupa. Sebab, tendensi untuk sekadar mengangkat kecenderungan populis demi menunjukkan "kemajuan" hanyalah strategi industrial, bukan kebijakan seni rupa. Pada pameran-pameran internasional di negeri maju, eksistensi jenis karya seni tak pernah dibunuh agar kursinya bisa dipakai oleh seni baru. Maka, selain meluhurkan karya gila Cesar Baldaccini, Bienal Venesia membanggakan grafis lembut Yayoi Kusama. Bienal Beijing menjunjung seni media baru Damien Hirst, tapi juga memajang karya patung Jiang Shuo dan Wu Shaoxiang.
            Dari berbagai pameran seni rupa Indonesia pada 2011, tentu banyak karya media baru yang bermutu. Ciptaan Aditya Novali dalam pameran tunggal yang digelar Galeri Canna di Jakarta Art District, Jakarta, misalnya. Karya Jompet Kuswidananto, Krishna Murti, dan instalasi Octora yang dipajang dalam Bienal Yogyakarta. Seni instalasi magisme modern karya House of Natural Fiber (HONF). Juga karya estetik F.X. Harsono, yang kemudian diusung ke beberapa negara.
            Namun, di sebelah yang bagus-bagus itu, tak sedikit karya kontemporer yang menawarkan nilai rendah. Gawatnya, karya-karya buruk tersebut umumnya diberi porsi besar dalam presentasinya. Karya Stefan Buana dalam pameran "Documenting Now" sebagai contoh. Karya yang mengambil sebagian besar lantai galeri Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini menyajikan gambar manusia sedang buang hajat, dengan kotoran yang terekspos jelas. Dalam sebuah pameran di Galeri Nasional Indonesia, pegrafis ulung Tisna Sanjaya menaruh gubuk reyot terbuat dari seng karatan. Apa yang didapat dari karya seperti itu bila publik mendekat saja sudah tidak mau?
            Perupa memang sah untuk tampil di hadapan masyarakat dengan karya apa saja dan apa pun mutunya. Penyelenggara pameran dan kurator sah pula menghadirkan kebebasan pilihan mereka. Namun masyarakat penikmat juga mempunyai hak untuk menyuguhi diri karya seni rupa yang bisa menghiasi pandangan mata, mengisi jiwa-rasa, membersihkan hati, dan menggerakkan kehidupan mereka. ( KutipanMenuju Seleksi Kolektor” Agus Darmawan T dalam http://koran.tempo.co/2012/01/03 )

Ruang Antara...
            Ruang antara bagai sebuah ruang yang mempertemukan berbagai perspektif atau pandangan terhadap sesuatu hal. Seniman yang diundang dalam pameran Dokumenting Now ini merupakan perupa-perupa yang secara konsisten menjalani profesi kesenimanan secara utuh dan berhasil mencapai eksitensi yang menjulang, beberapa diantaranya hingga pada level internasional. Keseharian mereka adalah keseharian estetik, serta penuh dengan pengalaman artistik. Peristiwa apapun yang dilaluinya sehari-hari mereka catat, baik pada peristiwa ketika mereka berada di luar maupun di dalam rumah.
            “Jam kantor” mereka tidak terbatas, “kerja” mereka tidak hanya berdekatan dengan material berkarya. Banyak gesekan pikiran yang dilaluinya, tidak terbatas pada hal-hal yang nantinya mengarah pada tujuan akhir sebuah karya seni, namun juga pada kesadaran yang mengarah pada kreativitas berpikir dan mengambil pelajaran dari peristiwa sehari-hari. ( kutipan rilis Kuratorial, Mike Susanto)
            Sedangkan Agus Darmawan T dalam tulisannya “Menuju Seleksi Kolektor” mengkonstruksi sebuah perspektif yang awalnya bersandar pada Pameran Koleksi OHD yang memamerkan karya – karya Maestro Indonesia. Selanjutnya menggugat kebijakkan trendi dan overprogresif sebagai tanda-tanda yang kurang obyektif dalam memandang panorama perkembangan seni rupa. Sebab, tendensi untuk sekadar mengangkat kecenderungan populis demi menunjukkan "kemajuan" hanyalah strategi industrial, bukan kebijakan seni rupa.
            Kemudian memberikan penilaian “ Subyektif “ tentang karya – karya yang di anggapnya bermutu dan yang “ Buruk “ dengan asumsi “ Nilai Rendah “ dengan contoh Karya Stefan Buana yang menyajikan gambar manusia sedang buang hajat, dengan kotoran yang terekspos jelas dalam pameran DOCUMENTING NOW: Person to Person. Penilaian tersebut juga diberikan pada karya pegrafis handal Tisna Sanjaya yang menyajikan gubuk reyot terbuat dari seng karatan pada salah satu hajatan pameran di Galeri Nasional Indonesia. Pendapat tersebut berujung pada sebuah pertanyaan. Apa yang didapat dari karya seperti itu bila publik mendekat saja sudah tidak mau?
            Pertanyaan yang biasa ditanyakan oleh penguasaha kerajinan terhadap karyawannya kalau kios mereka menyajikkan barang yang tidak lazim, atau dipandang jorok. Sebagai contoh, bagaimana “ Buyer ” mau datang kalau ada barang dagangan seperti ini?.
            Memang benar bahwa “ Strategi Kemasan “ yang menarik adalah strategi Industrial. Strategi yang digunakan untuk menjual barang yang di produksi agar mendapatkan keuntungan. Hal tersebut berbeda dengan “ Kebijakkan Seni Rupa ” ( meminjam istilah Agus Darmawan T ). Ada sesuatu yang terlupakkan oleh Agus Darmawan T, bahwasanya dalam “ Seni ” ada satu pijakkan dimana karya yang diciptakan memiliki essensi atau makna yang dikandungnya. Bahkan terkadang bagi Seniman “ orisinalitas ” materi sengaja digunakan dan dipilih secara selektif agar kandungan makna tergali dengan baik.
            Pada satu sisi, sudah saatnya masyarakat penikmat dan pecinta seni disuguhi oleh karya – karya “ Frontal ” yang berani menggugat Realitas kehidupan. Supaya benar – menggerakkan kehidupan dan tidak terjebak pada karya – karya yang hanya menghiasi pandangan mata dengan alasan klise mampu mengisi jiwa-rasa. Bahkan lebih parah kalau karya seni sengaja diciptakan hanya sekedar memenuhi kebutuhan bisnis semata.
            “ Ruang antara ”, Penyajian karya seni dalam ruang pameran, Penilaian antara baik dan buruk, Dan Proses penciptaan karya tentu melahirkan beragam perspektif dengan berbagai kepentingan. Namun alangkah eloknya apabila perspektif tersebut bertujuan untuk mendewasakan publik seni rupa dan memajukan kehidupan masyarakat yang masih jauh dari sejahtera.