Jumat, 09 Maret 2012

Lagi, Stefan Buana Mempesona Nasir Tamara

Oleh Dio Pamola Candra
( copy right http://sakatoartcommunity.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=40&artid=292)




Sore itu Minggu 5 Februari 2012 lalu tepatnya pukul 16.00 WIB, di kawasan Mondorakan, Kota Gede, Yogyakarta, aku datang menghadiri undangan bapak Nasir Tamara dalam rangka syukuran yang beliau gelar (perihal pak Nasir ini nantilah aku ceritakan). Aku bersama rekan-rekan yang lain tentu senang mengadirinya. Seperti anda ketahui, kalau syukuran itu biasanya pastilah dilengkapi dengan hidangan yang menggugah selera, dengan aroma-aroma yang membuat pintu selera jadi terbuka. Belum lagi makanan pembuka dan penutup, dan pastinya ada prosesi makan-makan pula. Slurp…slurp…, bisalah anda bayangkan suasananya. Siapa juga yang sanggup menolak untuk ajakan kesenangan yang satu ini. Dengan perut yang sengaja aku kosongkan dari tadi siang, tentunya menambah kapasitas kelezatan yang bisa untuk aku nikmati.  

Setibanya di lokasi, terlihat perupa kawakan Stefan Buana sudah berbincang akrab dengan pak Nasir. Dan juga ternyata disana tempatnya adalah sebuah bangunan tua, Rumah Kalang (heritage) yang baru di beli oleh pak Nasir. Rumah tua yang bergaya arsitektur perpaduan peradaban Islam abad pertengahan, Hindu-Budha, dan kolonial  dan bertuliskan angka 1857 tersebut rencananya mau dipugar oleh pak Nasir. Di sana bulu kudukku merinding. Mata ku rasanya tidak sanggup menatap lebih intens sudut demi sudut ruangan itu, lebih-lebih mata hatiku. Semacam ada aura lain. Bangunannya berlumut, atapnya genteng, tiris-tiris dan berumput. Sebagian ada bertopangkan bambu. Beberapa sisi sudah runtuh karena peristiwa gempa 2006 silam. Namun, bangunannya tetap mempesona dan bernuansa antik dan klasik untuk jaman kini. Selain sarat dengan nilai historis, desain bangunan tersebut juga menarik layak untuk disulap menjadi art space

Tidak beberapa saat, aku dan beberapa teman mulai membaur. Ada perupa seperti Stefan Buana, Nasirun, Noor Ibrahim, Erianto, Ahmed Zafli, Yon Indra, Zulfirmansyah, kurator Mikke Susanto dan juga teman-teman pemusik dari ISI Yogyakarta. Mengumbar guyonan sambil tertawa ngakak. Sesekali melirik-lirik, siapa tahu ada “sesuatu”nya Syahrini yang fiew untuk di-siul-i. Biasalah kalau sudah ngumpul-ngumpul seperti itu, mata memang susah dikendalikan. Teman-teman pun mulai memanjangkan tangan mereka untuk menjangkau beberapa hidangan dan pastinya akupun tidak ketinggalan. Eh, ketika lagi asyik minum Ronde, tiba-tiba pengeras suara memanggil nama Stefan Buana untuk naik ke panggung, diminta bernyanyi. Semua pada kaget. Aku bingung, bertanya-tanya. Apa kekagetan itu karena memang sangat ingin mendengarkan Stefan bernyanyi atau hanya karena belum pernah mendengarkan nyanyian Stefan secara oral. Entahlah.

Tapi…..Aku pikir suaranya Stefan itu sama seperti suara Motor Harley Davidsonnya. Besar, berat, memecahkan gendang telinga, menggema tidak karuan, “krutak..krutak..krutak…”. Mungkin jika anda membayangkannya saja anda sudah tidak sanggup. Bukan karena tidak suka, tapi mungkin karena anda belum pernah mendengarkan suara motor klasik favorit amerika itu barangkali. Hahaha…, jika pun anda membayangkan suara Stefan seperti yang saya bayangkan tadi, maka ternyata anda dan saya sama-sama keliru. Terjebak dalam skeptisisme yang dangkal.

Ternyata seorang seniman besar seperti Stefan Buana tidak saja memiliki keliaran ide-ide dan karya-karya yang sarat dengan muatan estetik serta filosofi, tetapi juga memiliki lantunan suara yang merdu. Hal itu terlihat dan terdengar ketika Stefan menaiki pentas untuk menyumbangkan sebuah lagu dari daerah Tanah Rencong. Tampilnya Stefan di atas panggung spontan membuat aku dan tetamu lain menjadi tercengang-cengang, terutama bagi mereka yang terbiasa berkecimpung dan berbaur dalam kafilah seni dan mengenal Stefan sebagai seorang pelukis, bukan sebagai seorang yang bisa bernyayi dengan baik.

Ketercengangan itu tidak saja membuat tetamu menggeleng-gelengkan kepala, senyum liris, berdiri bulu roma, tetapi lebih parahnya ada dari mereka yang bergumam dalam hati. Mengumpat-umpat dengan bahasa daerah masing-masing. Entah apalah yang mereka baca. Sejelas telingaku aku mendengar riuh “Kantuik, suara Stefan bagus juga ternyata”. Seolah tidak percaya dengan apa yang sedang mereka nikmati di atas panggung. Pokoknya  semacam terkesima iya juga, begitu benar hiperbolanya suasana ketika itu.  Mungkin kalau tidak bernada Tenor, Bariton lah.

Tidak saja aku dan mereka yang lain, Pak Nasir sendiri  pun sepertinya juga tidak terima kalau dirinya tidak mengetahui kelebihan itu dari Stefan. Hal ini membuat pak Nasir tambah terpesona dan membuat hasrat untuk menggali kisah Stefan sudah melebihi ubun-ubun. Pasalnya, sudah sejak lama pak Nasir memantau Stefan dan baru kali ini mengetahui kelebihan dan keceriaan seperti itu. Mungkin ada sesuatu yang lain yang menginspirasi pak Nasir,  dan lagi pula dalam beberapa bulan belakangan ini beliau sedang intens mendalami riwayat perjalanan hidup Stefan Buana untuk dituangkannya dalam bentuk yang masih dirahasiakan.

Sebelum tulisanku ini mulai ngelantur kemana-mana, akibat efek keterpanaan beberapa hari lalu itu yang makin menjadi-jadi, ada sesuatu yang belum aku lupa. Perihal Pak Nasir Tamara yang aku ceritakan tadi. Beliau adalah seorang Profesor Antropologi, ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia International, dan juga Guru Besar di UGM. Selain itu beliau juga seorang penulis. Buku Revolusi Iran pada tahun 1979 adalah salah satu dari karya emas Pak Nasir. Sebatas lembaran ingatanku, beliau ini mendapat peranan dalam revolusi tersebut. Hal itu tergambar dari kedekatan beliau dengan Ayatullah Komeini pada sebuah diskusi dalam satu penerbangan yang sama. Seperti anda ketahui, Komeini adalah tokoh revolusioner Iran. Namun demikian, perihal pak Nasir, tidak banyak detail yang bisa aku ceritakan dalam kesempatan ini (lain kali lah aku ceritakan lagi). Mungkin ada baiknya juga anda membaca buku-buku pak Nasir agar bisa mengetahui tentang beliau dan pemikirannya lebih dalam lewat tulisan.

Sudahlah, aku rasa penjelasan subjektif ini cukup memberikan impresi anda terhadap Stefan Buana.  Sepertinya juga saat aku menuliskan cerita ini rasanya sudah larut tengah malam. Aku juga  tidak mendengar lagi suara jangkrik-jangkrik yang biasanya menemani itu. Hujan pun tidak, angin pun juga tidak. Tidak ada bulan. Begitu juga bintang-bintang. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar