( copy right http://sakatoartcommunity.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=40&artid=292)
Sore
itu Minggu 5 Februari 2012 lalu tepatnya pukul 16.00 WIB, di kawasan
Mondorakan, Kota Gede, Yogyakarta, aku datang menghadiri undangan bapak Nasir
Tamara dalam rangka syukuran yang beliau gelar (perihal pak Nasir ini nantilah
aku ceritakan). Aku bersama rekan-rekan yang lain tentu senang mengadirinya.
Seperti anda ketahui, kalau syukuran itu biasanya pastilah dilengkapi dengan
hidangan yang menggugah selera, dengan aroma-aroma yang membuat pintu selera
jadi terbuka. Belum lagi makanan pembuka dan penutup, dan pastinya ada prosesi
makan-makan pula. Slurp…slurp…, bisalah anda bayangkan suasananya. Siapa juga
yang sanggup menolak untuk ajakan kesenangan yang satu ini. Dengan perut yang
sengaja aku kosongkan dari tadi siang, tentunya menambah kapasitas kelezatan
yang bisa untuk aku nikmati.
Setibanya
di lokasi, terlihat perupa kawakan Stefan Buana sudah berbincang akrab dengan
pak Nasir. Dan juga ternyata disana tempatnya adalah sebuah bangunan tua, Rumah
Kalang (heritage) yang baru di beli oleh pak Nasir. Rumah tua yang
bergaya arsitektur perpaduan peradaban Islam abad pertengahan, Hindu-Budha, dan
kolonial dan bertuliskan angka 1857 tersebut rencananya mau dipugar oleh
pak Nasir. Di sana bulu kudukku merinding. Mata ku rasanya tidak sanggup
menatap lebih intens sudut demi sudut ruangan itu, lebih-lebih mata hatiku.
Semacam ada aura lain. Bangunannya berlumut, atapnya genteng, tiris-tiris dan
berumput. Sebagian ada bertopangkan bambu. Beberapa sisi sudah runtuh karena
peristiwa gempa 2006 silam. Namun, bangunannya tetap mempesona dan bernuansa
antik dan klasik untuk jaman kini. Selain sarat dengan nilai historis, desain
bangunan tersebut juga menarik layak untuk disulap menjadi art space.
Tidak beberapa saat, aku dan beberapa teman mulai membaur.
Ada perupa seperti Stefan Buana, Nasirun, Noor Ibrahim, Erianto, Ahmed Zafli,
Yon Indra, Zulfirmansyah, kurator Mikke Susanto dan juga teman-teman pemusik
dari ISI Yogyakarta. Mengumbar guyonan sambil tertawa ngakak. Sesekali
melirik-lirik, siapa tahu ada “sesuatu”nya Syahrini yang fiew untuk di-siul-i.
Biasalah kalau sudah ngumpul-ngumpul seperti itu, mata memang susah
dikendalikan. Teman-teman pun mulai memanjangkan tangan mereka untuk menjangkau
beberapa hidangan dan pastinya akupun tidak ketinggalan. Eh, ketika lagi
asyik minum Ronde, tiba-tiba pengeras suara memanggil nama Stefan Buana
untuk naik ke panggung, diminta bernyanyi. Semua pada kaget. Aku bingung,
bertanya-tanya. Apa kekagetan itu karena memang sangat ingin mendengarkan
Stefan bernyanyi atau hanya karena belum pernah mendengarkan nyanyian Stefan
secara oral. Entahlah.
Tapi…..Aku
pikir suaranya Stefan itu sama seperti suara Motor Harley Davidsonnya. Besar,
berat, memecahkan gendang telinga, menggema tidak karuan,
“krutak..krutak..krutak…”. Mungkin jika anda membayangkannya saja anda sudah
tidak sanggup. Bukan karena tidak suka, tapi mungkin karena anda belum pernah
mendengarkan suara motor klasik favorit amerika itu barangkali. Hahaha…, jika
pun anda membayangkan suara Stefan seperti yang saya bayangkan tadi, maka
ternyata anda dan saya sama-sama keliru. Terjebak dalam skeptisisme yang dangkal.
Ternyata
seorang seniman besar seperti Stefan Buana tidak saja memiliki keliaran ide-ide
dan karya-karya yang sarat dengan muatan estetik serta filosofi, tetapi juga
memiliki lantunan suara yang merdu. Hal itu terlihat dan terdengar ketika
Stefan menaiki pentas untuk menyumbangkan sebuah lagu dari daerah Tanah
Rencong. Tampilnya Stefan di atas panggung spontan membuat aku dan tetamu lain
menjadi tercengang-cengang, terutama bagi mereka yang terbiasa berkecimpung dan
berbaur dalam kafilah seni dan mengenal Stefan sebagai seorang pelukis, bukan
sebagai seorang yang bisa bernyayi dengan baik.
Ketercengangan
itu tidak saja membuat tetamu menggeleng-gelengkan kepala, senyum liris,
berdiri bulu roma, tetapi lebih parahnya ada dari mereka yang bergumam dalam
hati. Mengumpat-umpat dengan bahasa daerah masing-masing. Entah apalah yang
mereka baca. Sejelas telingaku aku mendengar riuh “Kantuik, suara Stefan
bagus juga ternyata”. Seolah tidak percaya dengan apa yang sedang mereka
nikmati di atas panggung. Pokoknya semacam terkesima iya juga, begitu
benar hiperbolanya suasana ketika itu. Mungkin kalau tidak bernada Tenor,
Bariton lah.
Tidak
saja aku dan mereka yang lain, Pak Nasir sendiri pun sepertinya juga
tidak terima kalau dirinya tidak mengetahui kelebihan itu dari Stefan. Hal ini
membuat pak Nasir tambah terpesona dan membuat hasrat untuk menggali kisah
Stefan sudah melebihi ubun-ubun. Pasalnya, sudah sejak lama pak Nasir memantau
Stefan dan baru kali ini mengetahui kelebihan dan keceriaan seperti itu. Mungkin
ada sesuatu yang lain yang menginspirasi pak Nasir, dan lagi pula dalam
beberapa bulan belakangan ini beliau sedang intens mendalami riwayat perjalanan
hidup Stefan Buana untuk dituangkannya dalam bentuk yang masih dirahasiakan.
Sebelum
tulisanku ini mulai ngelantur kemana-mana, akibat efek keterpanaan
beberapa hari lalu itu yang makin menjadi-jadi, ada sesuatu yang belum aku
lupa. Perihal Pak Nasir Tamara yang aku ceritakan tadi. Beliau adalah seorang
Profesor Antropologi, ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia International, dan juga
Guru Besar di UGM. Selain itu beliau juga seorang penulis. Buku Revolusi
Iran pada tahun 1979 adalah salah satu dari karya emas Pak Nasir. Sebatas
lembaran ingatanku, beliau ini mendapat peranan dalam revolusi tersebut. Hal
itu tergambar dari kedekatan beliau dengan Ayatullah Komeini pada sebuah
diskusi dalam satu penerbangan yang sama. Seperti anda ketahui, Komeini adalah
tokoh revolusioner Iran. Namun demikian, perihal pak Nasir, tidak banyak detail
yang bisa aku ceritakan dalam kesempatan ini (lain kali lah aku ceritakan
lagi). Mungkin ada baiknya juga anda membaca buku-buku pak Nasir agar bisa
mengetahui tentang beliau dan pemikirannya lebih dalam lewat tulisan.
Sudahlah,
aku rasa penjelasan subjektif ini cukup memberikan impresi anda terhadap Stefan
Buana. Sepertinya juga saat aku menuliskan cerita ini rasanya sudah larut
tengah malam. Aku juga tidak mendengar lagi suara jangkrik-jangkrik yang
biasanya menemani itu. Hujan pun tidak, angin pun juga tidak. Tidak ada bulan.
Begitu juga bintang-bintang. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar