Kamis, 29 Desember 2011

“MEMOIR OF RICE”


“MEMOIR OF RICE”
Solo exhibition Stefan Buana
International Culture Centre Pasuruan ( 11 Nofember – 11 Desember 2011 )
Curated by Mikke Susanto
Sejarah telah membuktikan bahwa Majapahit mampu mengekspor beras, karena itulah ia mampu menyatukan Nusantara (di dalamnya termasuk Singapura dan Malaysia sekarang). Catatan lama mengimajinasikan bahwa Kerajaan Sriwijaya di Sumatera telah melakukan eksplorasi makanan berbasis padi. Tanah Sumatera berabad - abad disebut sebagai “Semenanjung Emas” karena telah memberi keuntungan pada negeri-negeri Barat, Timur Tengah, hingga India, juga karena beras dan rempah-rempahnya. Tanah Nusantara pun tak luput tergambar sebagai hamparan tanah yang subur, sampai-sampai tongkat kayu ditancap pun tumbuh dan berkembang.



Namun selama bertahun-tahun pula, sampai kini beranak-pinak sengketa perihal tanah nan subur dan padi yang berlimpah pun muncul dan tak kunjung usai. Negeri yang dahulu disebut penghasil pangan dan berswasembada beras, kini harus merengek pada negeri lain untuk berbagi makanan. Padi memang selayaknya harta karun, mengalahkan butiran emas, namun sayangnya bukan milik kita karena itu menjadi amat mahal. Rantai ekosistem yang telah hancur—misalnya karena terlampau banyaknya pupuk yang dikonsumsi oleh padi sehingga ular pun tak mau lagi hidup di sawah--karena peradaban baru telah memberi akibat: hilangnya impian masa depan sebagai bangsa yang besar.


Menengok Keresahan Masa Lalu
Budidaya tanaman dalam bentuk pertanian telah terjadi sejak 13.000 sampai 12.000 yang lalu disekitar lembah sungai Eufrat & Tigris di Irak, memanjang hingga Suriah dan Yordania. Teknik budidaya tanaman lalu meluas ke Barat (Eropa dan Afrika Utara, pada saat itu Sahara belum sepenuhnya menjadi gurun) dan ke timur (hingga Asia Timur dan Asia Tenggara). Bukti-bukti di Tiongkok menunjukkan adanya budidaya jewawut (millet) dan padi sejak 6000 tahun sebelum Masehi. Masyarakat Asia Tenggara telah mengenal budidaya padi di sawah paling tidak pada saat 3000 tahun SM. dan Jepang serta Korea sejak 1000 tahun SM. Sementara itu, masyarakat benua Amerika mengembangkan tanaman dan hewan budidaya setelahnya. Budidaya sayur-sayuran dan buah – buahan juga dikenal manusia telah lama. Masyarakat Mesir Kuno (4000 tahun SM.) dan Yunani Kuno (3000 tahun SM.) telah mengenal baik budidaya anggur dan zaitun.
Kisah dan perkenalan singkat tentang pertanian ini setidaknya telah membuktikan bahwa pertanian adalah perkara utama dalam kehidupan manusia. Sejarah makanan yang terjadi hampir diberbagai wilayah di dunia telah mendudukkan makanan sebagai sebuah pokok permasalahan yang tak pernah berhenti. Kisah lain yang cukup deras mengalir adalah persoalan keresahan-keresahan yang dialami oleh petani.
Mari kita periksa detail sejarah yang telah terjadi, cukup di Indonesia saja. Sebagai contoh kecil, pada tahun 1811-1816 sistem pajak tanah yang dikenalkan oleh Raffles telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih dikenal dengan Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Pemberontakan ini setidaknya telah meresahkan dan menguras pundi-pundi negeri Belanda selama 5 tahun, selain tentu saja memporakporandakan kemakmuran petani di sisi lain.
Akibatnya, berlanjut pada 1830-1870 terjadi era yang disebut era Tanam Paksa (cultuur stelsel). Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, dan nila. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC yang diberlakukan sebelumnya, karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.
Petani yang pada zaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset Tanam Paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940. Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar “Graaf” oleh Raja Belanda, pada 25 Desember 1839.
Pada masa berikutnya, ketika di negara-negara Barat pertanian dimulai dengan membagi-bagikan lahan kepada petani (land-reform), di Indonesia yang terjadi justru sebaliknya: tanah rakyat dirampas untuk dibagi-bagikan kepada pengusaha swasta. Babakan itu dimulai dengan diterbitkannya Agrarische Wet 1870, Undang-undang yang memberikan kemudahan pada kapitalisme modal untuk menyewa tanah rakyat dalam skala luas pada periode tertentu. Inovasi hukum ini memberikan insentif kepada para pengusaha agriindustri besar untuk berlomba-lomba berinvestasi di Hindia Belanda. Pada periode inilah babakan awal berkembangnya berbagai usaha agroindustri berskala besar dimulai.
Inilah secuplik kisah dari ratusan tahun yang tak terkira perihal pertanian, serta khususnya “sejarah padi” di Indonesia. Seiris kisah yang lain juga mendulang persoalan di masa kini. Masa Orde Lama pimpinan Sukarno dan Orde Baru pimpinan Suharto tidak pula secara konsisten memberi penghargaan yang amat layak pada para petani dan hasil panennya.
Setidaknya bukti yang paling otentik di Indonesia sampai saat ini yang (seharusnya) membuat resah kita semua adalah berkurangnya lahan pertanian. Persis seperti yang terjadi pada masa 1870 di atas. Celakanya, habisnya lahan bukan dalam bentuk penyewaan tanah untuk usaha pertanian, namun lebih pada penjualan tanah yang dipakai (sebagian besar) untuk perumahan dan usaha non-pertanian.

Stefan Buana dan Beras
Sejumlah lebih dari 25 karya lukis yang dihadirkan oleh Stefan Buana (1971) saat ini mengiris pada persoalan yang sangat terarah tentang masalah pertanian dan makanan di atas. Berlatar belakang sejarah pertanian di atas, sejumlah karya dikerjakan. Hasilnya terkupas menjadi tigabagian/ulasan persoalan.
Pada bagian pertama, karya-karya yang ia buat memiliki teknik pengerjaan yang bersifat “natural” pada kanvas - kanvasnya. Tepatnya, Stefan menggunakan teknik improvisasi bahan atau material karya yang menjadi ciri khasnya selama ini. Kekhasannya tersebut selama ini telah memberi nilai plus jika dibandingkan dengan karya-karya perupa lain. Stefan banyak mengajukan ide-ide tentang berbagai pendekatan teknik dan material yang luar biasa. 
Studionya ibarat laboratorium kerja untuk mengenali bahan atau material satu dengan yang lain. Kerja Stefan ibarat melakukan inseminasi pada karya. Berbagai kerja teknik ia telusuri, diantaranya menggunakan las logam, lelehan resin, cat akrilik dipadu cat minyak, ekplorasi bahan alami seperti kulit padi, serbuk kayu pada kanvas, dan berbagai teknik pengelolahan kanvas itu sendiri. Sehingga yang tampil dalam karya-karya Stefan tidak saja pada masalah tema atau “apa yang dilukis?”, akan tetapi “apa yang dibuat?”, “dengan apa ia berkarya?” atau “apa yang dilakukan pada kanvaskanvasnya”. Perihal material adalah persoalan utama dalam karya-karya Stefan Buana.
Di bagian kedua, secara khusus pada pameran kali ini ia sengaja menarik tema tentang keberadaan alam, terutama pertanian sebagai titik pentingnya dalam lukisan.


Sejak awal karir kesenimanannya, tema-tema yang diajukan oleh Stefan Buana hampir beragam. Karya-karyanya yang ditampilkan dalam berbagai pameran selama ini terkait dengan tema politik, sosial, figur manusia, potret tokoh, binatang, bencana alam, tradisi (termasuk batik), dan pertanian.
Tema “alam dan pertanian” sengaja ditarik lebih khusus dalam pameran ini karena untuk mengelaborasikan dengan visi penyelenggara (dalam hal ini ICC) yang bertujuan untuk menyelenggarakan hidup lebih baik, berbasis alam dan budaya. Oleh karena itu prinsip – prinsip untuk menengarai persoalan hidup dan kesehatan yang berbasis pada pola kerja dan pola makan serta pemilihan hasil pertanian yang baik adalah usulan yang ingin diajukan dalam pameran ini. Meskipun karya-karya Stefan dalam pameran ini lebih banyak mengajukan tesis mengenai berbagai keresahannya tentang kualitas hidup manusia saat ini, bukan perkara pemilihan padi yang baik atau hasil pertanian yang unggul misalnya. 
Alasan kedua adalah perkara pertanian (mungkin lebih khusus lagi adalah perihal makan) dirasakan oleh Stefan menjadi persoalan utama di masyarakat saat ini. Secara politik, kebijakan – kebijakan pemerintah mengenai persoalan pertanian menjadi keresahan tersendiri baginya. Dimensi kemanusiaan Stefan bergolak mendengar persoalan pertanian di negeri ini semakin meruncing. Bagaimana bisa negeri ini menjadi makmur, bila masalah makan saja belum teratasi? Bagaimana bisa negeri ini menjadi negeri yang cerdas memikirkan masa depan, bila rakyatnya masih saja bermimpi untuk mendapatkan beras untuk hari ini? Keresahan demi keresahan setiap hari muncul dalam pikiran Stefan.

Pada bagian yang ketiga, Stefan adalah produk manusia yang hidup pada peradaban pertanian yang telah mengalami perubahan. Artinya kita harus melihat latar belakang Stefan Buana dalam ranah kultur. Minangkabau adalah basis primordialnya. Latar belakangnya sebagai orang Minang menjadi pokok utama dalam karya - karyanya. Ia merasa bahwa orang Minang identik dengan budaya matrilineal, dimana ibu yang lebih "didahulukan".
Dalam hal ini sama halnya dengan penghormatan pada ibu. Maka beras pun disetarakan dengan ibu. Dalam istilah Minang terdapat istilah induak bareh (“induak”=induk=IBU dan “bareh”=BERAS). Dari istilah ini jelas sekali bahwa beras begitu dihormati oleh masyarakat Minang. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa upaya dan kerja keras Stefan selama ini adalah untuk penghormatan pada Sang Ibu, ibu bagi dirinya sendiri maupun Ibu Pertiwi (tanah Minang dan Indonesia) yang ia naungi selama ini dan pulau Sumatera yang diseganinya.

Karya-karya yang tersaji dalam pameran ini senyata-nyata adalah detail perkara yang ingin diajukan oleh Stefan Buana sebagai “oleh-oleh” atas kesungguhannya dalam menelusuri persoalan hidup yang dialami oleh dirinya sendiri maupun masyarakat sekitar kita.

Oleh sebab itu, ia merasakan betapa lukisan - lukisannya tak bisa hanya bicara tentang “keberhasilan”, namun juga “mimpi buruknya” tentang padi yang terlindas beton dan besi dan kebijakan sang penguasa. Dan, apabila saat ini kita sedang membicarakan soal pangan dan maraknya kuliner, sebenarnya di saat yang sama muncul perbincangan masalah peradaban dan perubahannya. Tak salah bila pameran ini kami beri tajuk “Memoar Nasi”, karena inilah “catatan sejarah dan peristiwa seseorang ataupun catatan pengalaman individu” tentang hal yang paling dekat dan signifikan dalam hidup manusia: perihal makan dan persoalan perubahan peradaban.
Selamat menikmati.







Sumber Bacaan
Graves, Elizabeth E., Asal-Usul Elite Minangkabau Modern: Respons
terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan
Obor, 2007.
Hadler, Jeffrey, Sengketa Tiada Putus. Jakarta: Freedom Institute,
2010.
Katalog Pameran Tunggal Stefan Buana Solo di Galnas. Jakarta: Galeri
Nasional Indonesia, 9-20 Juli 2008.
Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani, Menyingkap Kejahatan
Industri Pangan, Resist Book, Jogjakarta, 2004.
Maryoto, Andreas, Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa
Depan. Jakarta: Kompas, 2009.