Sebagai makhluk sosial manusia membentuk
kelompok berdasarkan ikatan genetik, Demografi–Geografis, Kesamaan Strategi
pemenuhan kebutuhan dan perlindungan diri, dan berbagai kesamaan lainnya. Hal –
hal tersebut mendasari perilaku manusia, lalu membentuk adat istiadat dan
kebudayaan.
Pada peradaban modern ini, dinamika
kehidupan manusia telah berkembang dalam kelompok yang lebih besar, atau
disebut dengan Negara. Negara Indonesia
terlahir dari semangat Nasionalisme dan Patriotisme dengan sejarahnya yang
heroik. Negara ini memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa, dengan
karakteristik masyarakat maritim dan pertanian.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Tinta
emas sejarah mencatat bahwa kumandang kemerdekaan menghiasi langit Indonesia.
Kemerdekaan yang menyusuri lautan darah dan airmata para pendahulunyaa. Setelah
itu sistem kehidupan masyarakat dimulai dengan pola pemerintahan. Setiap Era
pemerintahan memberikan dinamika yang beragam untuk mencapai cita – cita
besarnya meraih kesejahteraan. Organisasi dan pemerintahan bentuk modern yang
berpijak pada Hukum, politik, ekonomi dan Kebudayaan
Hukum menjadi pijakkan dasar dari
tata cara kehidupan Warga-Negara. Tujuannya agar segala hak dan kewajiban dapat
berjalan dengan azas keadilan. Politik menjadi arena perwakilan untuk
menyatukan legitimasi yang dimiliki oleh warga negara. Sistem ekonomi bertujuan
untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat dari perspektif Ekonomi. Sedangkan
konstruksi budaya nasional tersusun oleh keaneka-ragaman budaya lokal
masyarakat daerah yang arif.
Setelah kemerdekaan dan melewati
beberapa fase pemerintahan hingga Era Reformasi ini keadilan dan kesejahteraan
masih jauh dari realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Tampak dari berbagai permasalahan
yang terjadi di dalam realitas kehidupan masyarakat.
Hukum tidak lagi berpihak pada
keadilan masyarakat, karena wajah hukum telah berubah dan menjadi supermarket
dengan praktek jual beli berbalut kuasa dan ke-kayaan. Faktanya bahwa penjahat
kelas kakap yang melakukan berbagai tindak kriminal seperti Korupsi dan lainnya
tidak tersentuh oleh hukum. Sedangkan rakyat kecil yang mencuri pisang, kakao
dan sendal akan langsung ditindak.
Konstelasi Politik
dan sistem Ekonomi juga tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Carut marutnya panggung per-politikan,
sistem ekonomi-liberal dan. Membuat rakyat tersungkur kedalam jurang
kesengsaraan dan terbelenggu oleh lingkar usus mereka. Sebab, untuk memenuhi
kebutuhan pokok masih menjadi persoalan besar. Kesempatan masyarakat untuk
ber-Swsembada menguap seiring Korupsi yang telah mengakar disetiap sendi
pemerintahan. Dibidang Ekonomi, sebagian besar masyarakat dijadikan “budak –
budak pasar” yang harus memeras keringat dan tenaga demi upah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan pokok. Sedangkan harga barang – barang dan biaya pendidikan
semakin mahal.
Era Globalisasi Situasi dengan
perdagangan bebasnya menjadi situasi yang pelik bagi masyarakat, karena disatu
sisi mereka dituntut untuk memenuhi kebutuhan pokok yang terus meningkat.
Sedangkan disisi lainnya kebijakkan – kebijakkan yang di buat pemerintah tidak
berpihak kepada mereka. Masyarakat hidup tanpa adanya jaminan kesejahteraan,
jaminan untuk mendapatkan keadilan dan keamanan. Bahkan jaminan kesehatan dan
hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak pun jauh dari harapan dan cita –
cita besar kemerdekaan. Lucunya, dalam situasi dan kondisi seperti ini di
hadapan Publik para pejabat, penegak hukum dan politisi picik berlomba - lomba
mengumandangkan syair moral demi kesejahteraan masyarakat. Padahal sudah
menjadi rahasia umum, bahwasanya disetiap kesempatan mereka berkompetisi
menggadaikan “tanah kaya ini” untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Dari uraian di atas. Terlihat ada
beberapa persoalan mendasar yang menyebabkan “ terkoyaknya realitas kehidupan
masyarakat Indonesia
”. bukan tidak mungkin lambat – laun situasi dan kondisi ini akan mengikis
Identitas masyarakat Indonesia
yang terkenal sebagai masyarakat yang penuh toleransi, plural, sikap ramah
tamah dan semangat gotong royong.
Ungkapan inilah yang membekap rasaku
( Stefan ) ketika melihat kenyataan yang tersaji dalam kehidupan kita berbangsa. Berbagai
persoalan yang membelenggu kehidupan masyarakat bagai penyakit komplikasi.
Sedangkan di sisi lainnya perilaku para penguasa dan orang - orang yang berbudaya tidak peduli seperti menginjak – nginjak
kedaulatan negara yang telah diperjuangkan dengan semangat patriotisme.
Mereka menggunakan topeng – topeng
Moral dan Keadilan, padahal sebenarnya membalikkan punggungnya penanda ketidak
pedulian dan memberikan kotorannya untuk kehidupan masyarakat. Seperti orang “
Berak ”...! Selanjutnya berdampak pada perilaku orang – orang yang terpengaruh
oleh tontonan realitas yang memuakkan ini.
Karya ini dipesentasikan dalam
pameran DOCUMENTING NOW: Person to Person.
Pameran Documenting Now dan Menuju Seleksi
Kolektor
Pameran seni rupa “DOCUMENTING NOW:
Person to Person adalah pameran yang “mencatat fenomena hari ini”. Tidak saja
berarti bahwa perupa mengajukan tema-tema tentang “hari ini” dalam pemikiran
dan karyanya, namun juga mengundang Anda untuk membahas apa yang tengah “trend”
bagi hidup Anda sendiri.
Dengan mode pameran semacam ini
diharapkan khalayak, sebagai tamu utama ruang pamer memahami arti, makna, dan
trend seni rupa yang paling fresh. Tak salah bila tema-tema yang didengungkan
oleh para perupa ini merupakan masalah-masalah yang sedang in: misalnya problem
sosial-masyarakat, politik-ideologi, kematian, perang, cinta, maupun masalah
identitas personal.
Seniman yang diundang dalam pameran
ini merupakan perupa-perupa yang secara konsisten menjalani profesi kesenimanan
secara utuh dan berhasil mencapai eksitensi yang menjulang, beberapa
diantaranya hingga pada level internasional. Keseharian mereka adalah
keseharian estetik, serta penuh dengan pengalaman artistik. Peristiwa apapun
yang dilaluinya sehari-hari mereka catat, baik pada peristiwa ketika mereka
berada di luar maupun di dalam rumah.
“Jam kantor” mereka tidak terbatas,
“kerja” mereka tidak hanya berdekatan dengan material berkarya. Banyak gesekan
pikiran yang dilaluinya, tidak terbatas pada hal-hal yang nantinya mengarah
pada tujuan akhir sebuah karya seni, namun juga pada kesadaran yang mengarah
pada kreativitas berpikir dan mengambil pelajaran dari peristiwa sehari-hari. (
Rilis Curatorial, Mike Susanto)
Pada kesempatan lainnya Agus Dermawan T dalam “
Menuju Seleksi Kurator ” tentang perpektif lain terhadap perkembangan seni
rupa. Berikut kutipannya.
Pada 2011, euforia seni media baru
memang menjadi-jadi. Karya-karya itu dimunculkan dalam aneka pameran program
galeri, dan pameran akbar seperti bienale. Bahkan inti materi Bienal Yogyakarta dan Bienal Jakarta adalah seni media baru.
Sementara itu, seni rupa konvensional, seperti seni lukis atau patung, hanya
dipakai sebagai pendamping, yang disebut parallel biennale. Hanya Bienal Jawa
Timur yang masih menyisakan toleransinya terhadap seni rupa
"konvensional", seperti seni lukis dan patung.
Kebijakan trendi dan overprogresif
seperti ini akhirnya memberikan tanda-tanda kurang obyektif dalam memandang
panorama perkembangan seni rupa. Sebab, tendensi untuk sekadar mengangkat
kecenderungan populis demi menunjukkan "kemajuan" hanyalah strategi
industrial, bukan kebijakan seni rupa. Pada pameran-pameran internasional di
negeri maju, eksistensi jenis karya seni tak pernah dibunuh agar kursinya bisa
dipakai oleh seni baru. Maka, selain meluhurkan karya gila Cesar Baldaccini,
Bienal Venesia membanggakan grafis lembut Yayoi Kusama. Bienal Beijing
menjunjung seni media baru Damien Hirst, tapi juga memajang karya patung Jiang
Shuo dan Wu Shaoxiang.
Dari berbagai pameran seni rupa Indonesia
pada 2011, tentu banyak karya media baru yang bermutu. Ciptaan Aditya Novali
dalam pameran tunggal yang digelar Galeri Canna di Jakarta Art District, Jakarta, misalnya. Karya
Jompet Kuswidananto, Krishna Murti, dan instalasi Octora yang dipajang dalam
Bienal Yogyakarta. Seni instalasi magisme modern karya House of Natural Fiber
(HONF). Juga karya estetik F.X. Harsono, yang kemudian diusung ke beberapa
negara.
Namun, di sebelah yang bagus-bagus
itu, tak sedikit karya kontemporer yang menawarkan nilai rendah. Gawatnya,
karya-karya buruk tersebut umumnya diberi porsi besar dalam presentasinya.
Karya Stefan Buana dalam pameran "Documenting Now" sebagai contoh.
Karya yang mengambil sebagian besar lantai galeri Institut Seni Indonesia
Yogyakarta ini menyajikan gambar manusia sedang buang hajat, dengan kotoran
yang terekspos jelas. Dalam sebuah pameran di Galeri Nasional Indonesia, pegrafis ulung Tisna
Sanjaya menaruh gubuk reyot terbuat dari seng karatan. Apa yang didapat dari
karya seperti itu bila publik mendekat saja sudah tidak mau?
Perupa memang sah untuk tampil di
hadapan masyarakat dengan karya apa saja dan apa pun mutunya. Penyelenggara
pameran dan kurator sah pula menghadirkan kebebasan pilihan mereka. Namun
masyarakat penikmat juga mempunyai hak untuk menyuguhi diri karya seni rupa
yang bisa menghiasi pandangan mata, mengisi jiwa-rasa, membersihkan hati, dan
menggerakkan kehidupan mereka. ( Kutipan
“Menuju Seleksi Kolektor” Agus Darmawan T dalam http://koran.tempo.co/2012/01/03
)
Ruang Antara...
Ruang antara bagai sebuah ruang yang
mempertemukan berbagai perspektif atau pandangan terhadap sesuatu hal. Seniman
yang diundang dalam pameran Dokumenting Now ini merupakan perupa-perupa yang
secara konsisten menjalani profesi kesenimanan secara utuh dan berhasil
mencapai eksitensi yang menjulang, beberapa diantaranya hingga pada level
internasional. Keseharian mereka adalah keseharian estetik, serta penuh dengan
pengalaman artistik. Peristiwa apapun yang dilaluinya sehari-hari mereka catat,
baik pada peristiwa ketika mereka berada di luar maupun di dalam rumah.
“Jam kantor” mereka tidak terbatas,
“kerja” mereka tidak hanya berdekatan dengan material berkarya. Banyak gesekan
pikiran yang dilaluinya, tidak terbatas pada hal-hal yang nantinya mengarah
pada tujuan akhir sebuah karya seni, namun juga pada kesadaran yang mengarah
pada kreativitas berpikir dan mengambil pelajaran dari peristiwa sehari-hari. (
kutipan rilis Kuratorial, Mike Susanto)
Sedangkan Agus Darmawan T dalam
tulisannya “Menuju Seleksi Kolektor” mengkonstruksi sebuah perspektif yang awalnya
bersandar pada Pameran Koleksi OHD yang memamerkan karya – karya Maestro Indonesia.
Selanjutnya menggugat kebijakkan trendi dan overprogresif sebagai tanda-tanda
yang kurang obyektif dalam memandang panorama perkembangan seni rupa. Sebab,
tendensi untuk sekadar mengangkat kecenderungan populis demi menunjukkan
"kemajuan" hanyalah strategi industrial, bukan kebijakan seni rupa.
Kemudian memberikan penilaian “
Subyektif “ tentang karya – karya yang di anggapnya bermutu dan yang “ Buruk “
dengan asumsi “ Nilai Rendah “ dengan contoh Karya Stefan Buana yang menyajikan
gambar manusia sedang buang hajat, dengan kotoran yang terekspos jelas dalam
pameran DOCUMENTING NOW: Person to Person. Penilaian tersebut juga diberikan
pada karya pegrafis handal Tisna Sanjaya yang menyajikan gubuk reyot terbuat
dari seng karatan pada salah satu hajatan pameran di Galeri Nasional Indonesia.
Pendapat tersebut berujung pada sebuah pertanyaan. Apa yang didapat dari karya
seperti itu bila publik mendekat saja sudah tidak mau?
Pertanyaan yang biasa ditanyakan
oleh penguasaha kerajinan terhadap karyawannya kalau kios mereka menyajikkan
barang yang tidak lazim, atau dipandang jorok. Sebagai contoh, bagaimana “
Buyer ” mau datang kalau ada barang dagangan seperti ini?.
Memang benar bahwa “ Strategi
Kemasan “ yang menarik adalah strategi Industrial. Strategi yang digunakan
untuk menjual barang yang di produksi agar mendapatkan keuntungan. Hal tersebut
berbeda dengan “ Kebijakkan Seni Rupa ” ( meminjam istilah Agus Darmawan T ). Ada sesuatu yang
terlupakkan oleh Agus Darmawan T, bahwasanya dalam “ Seni ” ada satu pijakkan
dimana karya yang diciptakan memiliki essensi atau makna yang dikandungnya.
Bahkan terkadang bagi Seniman “ orisinalitas ” materi sengaja digunakan dan
dipilih secara selektif agar kandungan makna tergali dengan baik.
Pada
satu sisi, sudah saatnya masyarakat penikmat dan pecinta seni disuguhi oleh
karya – karya “ Frontal ” yang berani menggugat Realitas kehidupan. Supaya benar
– menggerakkan kehidupan dan tidak terjebak pada karya – karya yang hanya
menghiasi pandangan mata dengan alasan klise mampu mengisi jiwa-rasa. Bahkan
lebih parah kalau karya seni sengaja diciptakan hanya sekedar memenuhi
kebutuhan bisnis semata.
“
Ruang antara ”, Penyajian karya seni dalam ruang pameran, Penilaian antara baik
dan buruk, Dan Proses penciptaan karya tentu melahirkan beragam perspektif
dengan berbagai kepentingan. Namun alangkah eloknya apabila perspektif tersebut
bertujuan untuk mendewasakan publik seni rupa dan memajukan kehidupan
masyarakat yang masih jauh dari sejahtera.